Wednesday, March 21, 2018

AKHIR ZAMAN

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh



* AKHIR ZAMAN*
Jika memang Raja Salman nanti wafatnya karena di bunuh...!!! maka benarlah, dia raja yg disebut Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam hadits nya. Karena setelah wafatnya beliau, maka akan muncul Al Mahdi yang menggantikan posisi beliau. Dalam kalkulasi sebagian ulama, maka amat dekatlah peristiwa ini terjadi.

- Saat ini kita bisa lihat raja salman semakin menua.
- Gejolak didalam kerajaan arab saudi
saat ini sedang terjadi.
- Salju turun di arab.
- Sungai eufrat mengering.
- Penindasan dan pembantaian umat Islam terjadi dimana mana.
- Orang berlomba lomba membangun gedung tinggi.


Namun yang lebih ditakutkan adalah, sebelum Al Mahdi dan Dajjal keluar, akan ada peristiwa Dukhon (kabut asap) selama 40 hari 40 malam, dunia akan gelap gulita karena tidak ada matahari, listrik dan ekonomi hancur, Tekhnologi musnah, tidak ada yang dapat dimakan, Air mengering.

Maka orang-orang yang tidak beriman saat itu hanya punya 2pilihan,,, bunuh diri atau menjadi brutal.
Dan wajah orang-orang munafik menjadi hitam karena panasnya dukhon. Saya pribadi sangat takut apabila wajah ini menjadi hitam, karena digolongkan termasuk orang munafik...!!!Naudzubillah tsumma Nauudzubillah Mindzalik

semakin dekat peristiwa akhir zaman ini...!!!
Dan Rosululloh Shallallohu 'Alaihi Wasallam telah mengabarkannya 1400 tahun yang lalu...!!!

Perlu Kita renungkan, perbedaan kita (UMMAT NABI) saat ini dengan para sahabat Nabi dahulu sangatlah jauh. Apabila dulu ketika Rosululloh mengabarkan tentang risalah tanda-tanda akhir zaman kepada para sahabat, maka pastilah para sahabat menangis bahkan sampai pingsan. Akan tetapi saat ini yang sudah jelas bahwasanya Kita hidup di akhir zaman, Kita masih saja memikirkan duniawi yang sifatnya hanya sementara ini dan masih bisa saja tertawa terbahak bahak, seolah menganggap semuanya masih jauh.
Padahal Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memperlihatkan begitu banyaknya tanda-tanda Huru Hara Akhir Zaman dan menjelang kehancuran alam semesta..!!!

Diakhir zaman ini.
Bukan waktunya lagi kita bersantai.
Bukan waktunya lagi kita berleha leha
Bukan waktunya lg saling menghujat,saling menyalahkan sesama.
Kini waktunya kita untuk perbaiki diri dan keluarga.
Memperbaiki iman dan amal, memperbaiki hubungan sesama muslim tanpa menghujat, menyalahkan, tanpa menjatuhkan kerabatnya.
Semoga ALLAH Ta'ala melindungi kita semua dari fitnah akhir zaman dan fitnah dajjal.
AAMIIN ALLAHUMMA AAMIIN

Wallahu 'Alam...

—————————

Baca ini sambil nangis ya Allah... Lailahaillallah😭😭😭

Rupanya abad ini di penghujung dunia...ini penjelasannya dunia yg fana ini akan hancur...
Assalammualaikum WW, mybrothers and sisters ulasan dibawah ini silahkan dibaca dan direnungkan tentang tanda2 akan terjadinya HARI KIAMAT. berdasarkan firman Allah dan hadist Rasulullah saw.Silahkan dibaca dgn tenang, perlahan2 dan dipahami. Tulisan ini adalah dari sumber Khasanah yaitu program tayangan TV 7 yg disiarkan stlh sholat subuh oleh ustadznya yang membahas ini scr detail tentang tanda2 Hari Kiamat tsb. Silahkan dibaca..Insya Allah bermanfaat dan menjadikan kita akan lebih bersungguh2 beribadat untuk mendekatkan diri kita kepada Allah dan RasulNya. Aamiin YRA

BENARKAH KALENDER ISLAM TIDAK SAMPAI 1500 ? PADAHAL SEKARANG SUDAH 1438 H. INI KAJIANNYA

Tidak terasa kita hidup dipenghujung Jaman. 
Rasul SAW Berkata : 
Jaman itu dibagi 5

1. Jaman Nubuwwah
(Jaman kenabian diawali dr Jaman Nabi Adam AS sampai Baginda Nabi Muhammad SAW)

2. Jaman Khilafah l
(dipimpin sahabat -sahabat Nabi Abu Bakar Umar, Utsman dan Ali ra).

3. Jaman Al-mulk 
kerajaan (berakhir runtuhnya Dinasti Utsmani diturki kalau diindonesia Majapahit, Sriwijaya, Galu dsbnya).

4. Jaman Jababiro
(Jaman kebebasan maksiat dimana-mana dan kita hidup di Jaman ini). 
Fitnah2 bertebaran untuk melemahkan kaum Muslimin (era fitnah terbesar akan terjadi saat Dajjal muncul), Org2 yg tdk cakap/dzolim menjadi penguasa (pemimpin), jumlah ummat Islam banyak ttp bagaikan buih diatas laut (sedikit yg berjihad untuk membela Islam)... --> 
Jaman ini sdh terjadi dan sdg kita jalani...
Astaghfirullah.....

5. Jaman Khilafah ll
(Jaman yg mana suasana seperi pada Jaman Rosululloh SAW, nanti umat Islam akan dipimpin Imam Mahdi hanya berlangsung lebih kurang 9 tahun.

Pada Jaman ini pula Dajjal muncul, Nabi Isa AS jg muncul ditugaskan untuk membunuh Dajjal dan meng-Islamkan orang2 Kafir/Nashoro).

Para Ulama hadits memprediksi ttg usia umur ummat Islam :

1. Ibnu Hajar Asqalaniseorang ulama pakar hadits, kitab beliau yg populer diindonesia adalah Fathul Barri Beliau berkata umur umat Islam sampai 1476 H.

2. Imam As-syuyuthi
Beliau mengatakan umur umat Islam sampai 1477 H

3. Ibnu Hajar Hambali
kata Beliau umur umat Islam lebih dari 1400 H namun tdk sampai 1500 H

Allahu Akbar sekarang umur umat Islam sudah sampai pada 1437 H.

Hari kiamat tdk ada yg tau termasuk Rosululloh SAW namun mengenai umur umat Islam, Rasulullah sdh memberi bocoran tdk sampai 1500 H.

Kelak diakhir jaman Alloh SWT akan wafatkan serentak umat islam dimuka bumi dan yg tersisa hanyalah orang kafir yg akan menyaksikan hancurnya bumi gunung laut langit dan seluruh alam (baca Al-Qoriah, Al-Qiyamah, Al-Waqiah).

Diantara tanda kiamat kata Rasulullah SAW akan muncul Dukhan (kabut hitam) yg menyelimuti bumi selama 40 hari 40 malam, lalu sahabat bertanya Ya Rasulullah kapan itu terjadi???
Kata Baginda Nabi SAW itu terjadi apabila yg 
- pertama KALAU PENYANYI WANITA BERMUNCULAN DIMANA-MANA
- Yg kedua kata Rasulullah SAW, kalau alat musik dicintai oleh umatku dan minuman keras dimana-mana....


Saudaraku,... tanda2 diatas sudah muncul semua sekarang.......... .

Mumpung masih ada waktu, mari segera benahi diri, perbaiki kualitas ibadah dan perbanyak amal sholih untuk bekal di akherat nanti....
Wallahu'alam....

Sudah Siapkah...

Note:
Kajian ilmiah seluruh Pakar Iptek di timur n barat sdh 100% membenarkan Peringatan Rasulullah 14 abad yg lalu...! n janji Allah pasti benar n tepat...!
BADAN Meteorologi dan Geofisika menyatakan bahwa akan terjadi kemarau panjang yang akan melanda dunia. 

Diperkirakan kemarau panjang tersebut akan dimulai tahun 2019 hingga 2022. Cadangan air dunia saat ini hanya tersisa 3% saja. 

Lalu apa artinya informasi ini bagi kita?
Artinya adalah keluarnya Dajjal telah sangat dekat.
Dan munculnya Imam Mahdi telah berada di tengah-tengah kita, tanpa kita sadari.

Ini berarti apa yang disabdakan Rasulullah telah terbukti.
Dalam hadits tentang kisah Tamim Ad-Dari, keluarnya Dajjal di tandai dengan keringnya danau Thabariyyah (Tiberias), keringnya mata air Zughar, dan pohon kurma Baisan tidak berbuah lagi. Dan jika kita mengikuti perkembangan informasi terakhir tentang tiga pertanda tersebut, sudah nyata terjadi.

Sudah dua tahun ini, pohon kurma di Baisan tidak berbuah lagi. 

Diikuti dengan semakin minusnya mata air Zughar. Dan yang paling mencengangkan adalah surutnya air di danau Tiberias di Israel sudah sangat mengkhawatirkan.
Sedemikian, sehingga pemerintah Israel sibuk mencari sumber air lain. 

Salah satunya perencanaan penyulingan air laut. Dalam hadits lain dikatakan bahwa Dajjal akan keluar dari sarangnya ditandai setelah terjadi kemarau dan kekeringan selama kurun 3 tahun. Dan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Badan Meteorologi dan Geofisika telah memperkirakan kekeringan panjang akan dimulai tahun 2019 hingga 2022.

Jika di antara kita ada yang pernah berhaji dari tahun 2011, 2012, 2013, 2014, maka insya Allah pernah berjumpa dengan “calon Imam Mahdi” di dekat Ka’bah. Dan hanya orang-orang khusus saja yang mengetahui tanda tandanya. Dan kemunculan Imam Mahdi ini seperti yang pernah di nubuwahkan oleh Rasulullah adalah ditandai wafatnya Raja yang namanya bermakna nama hewan. 
Bisa jadi ia adalah Raja Fahd (Fahd: singa). Setelah itu terjadi perselisihan. Dan naik tahta raja yang banyak dosa, kemudian meninggal, kemudian muncul raja yang baik. (Bisa jadi ia adalah Raja Salman). Wallahu a’lam.
Di masa atau setelah masa pemerintahan Raja Salman inilah terjadinya pembai’atan atas Imam Mahdi. Dari pertanda ayat-ayat qauniyah tersebut, kesimpulannya adalah akhir dari fananya dunia ini sudah demikian dekat.
Marilah kita berbuat baik semaksimal mungkin, dan ajaklah setiap berjumpa sesama muslim dimanapun, untuk semakin bersungguh-sungguh memperbanyak amal akhirat. 
ALLAHU AKBAR... !!!

Kiamat menurut Agama Islam ditandai dengan beberapa petanda. Kita boleh baca novel sampai beribu2 kali tapi baca ini hanya perlu 5 menit

- Kemunculan Imam Mahdi

- Kemunculan Dajjal

- Turunnya Nabi Isa (AS)

- Kemunculan Yakjuj dan Makjuj

- Terbitnya matahari dari Barat ke Timur

- Pintu pengampunan akan ditutup

- Dab'bat al-Ard akan keluar dari tanah & akan menandai muslim yang se-benar2nya

- Kabut selama 40 Hari akan mematikan semua orang beriman sejati shg mereka tidak perlu mengalami tanda2 kiamat lainnya

- Sebuah kebakaran besar akan menyebabkan kerusakan

- Pemusnahan/runtuhnya Kabah

- Tulisan dalam Al-Quran akan lenyap

- Sangkakala akan ditiup pertama kalinya membuat semua makhluk hidup merasa bimbang dan ketakutan

- Tiupan sangkakala yang kedua kalinya akan membuat semua makhluk hidup mati dan yg ketiga yang membuat setiap makhluk hidup bangkit kembali


Nabi MUHAMMAD SAW telah bersabda:

"Barang siapa yg mengingatkan ini kepada orang lain, akan Ku buatkan tempat di syurga baginya pada hari penghakiman kelak"
Kita boleh kirim ribuan bbm mesra, promote, bc yang terlalu penting tapi bila kirim yang berkaitan dengan ibadah mesti berpikir 2x.

Allah berfirman : "jika engkau lebih mengejar duniawi daripada mengejar dekat denganKu maka Aku berikan, tapi Aku akan menjauhkan kalian dari syurgaKu"
Itulah yg dimaksud dajjal yg bermata satu: Artinya hanya memikirkan duniawi drpd akhirat. 
Kerugian meninggalkn sholat :

Subuh: Cahaya wajah akan pudar.
Zuhur: Berkat pendapatan akan hilang.
Ashar: Kesehatan mulai terganggu.
Maghrib: Pertolongan anak akan jauh di akhirat nanti.
Isya': Kedamaian dlm tidur sukar didapatkan.

Sebarkan dgn ikhlas. tiada paksaan dalam agama
Niatkan ibadah (sebarkan ilmu walau 1 ayat)

Nasihat Kubur:


1). Aku adalah tempat yg paling gelap di antara yg gelap, maka terangilah .. aku dengan TAHAJUD

2). Aku adalah tempat yang paling sempit, maka luaskanlah aku dengan berSILATURAHIM ..

3). Aku adalah tempat yang paling sepi maka ramaikanlah aku dengan perbanyak baca .. AL-QUR'AN.

4). Aku adalah tempatnya binatang2 yang menjijikan maka racunilah ia dengan Amal SEDEKAH,

5). Aku yg menyempitmu hingga hancur bilamana tidak Sholat, bebaskan sempitan itu dengan SHOLAT

6). Aku adalah tempat utk merendammu dgn cairan yg sangat amat sakit, bebaskan rendaman itu dgn PUASA..

7). Aku adalah tempat Munkar & Nakir bertanya, maka Persiapkanlah jawabanmu dengan Perbanyak mengucapkan Kalimah "LAILAHAILALLAH"


Kirim ini semampumu dan seikhlasmu kepada sesama Muslim, sampaikanlah walau hanya pada 1 org..
Karena, saat kamu membawa Al-Qur'an, setan biasa2 saja.
Saat kamu membukanya, syaitan mulai curiga.
Saat kamu membacanya, ia gelisah.
Saat kamu memahaminya, ia kejang2.
Saat kamu mengamalkan Al-Qur'an dlm kehidupan seharI-hari, ia stroke.
Trus n trus baca & amalkan agar syaitan stroke semuanya juga jantungnya dan mati.
Ketika anda ingin menyebarkan .. ini, lagi2 syaitan pun mencegahnya.

Syaitan berbisik;
Sudahlaaaaaah tak usah disebarkan, tak penting, buang waktu saja, tak mungkin akan dibaca

Sekecil apapun amal ibadah, Allah SWT menghargainya... Yang men-share ini Dan berkomentar Aamiin 
Semoga menjadi amal Dan rezekinya melimpah Aamiin..

Astaghfirullaahal'adzhiim
Astaghfirullaahal'adzhiim
Astaghfirullaahal'adzhiim

Sdh baca Like komen Aamiin dan bagikan dgn Ikhlas !!

Tuesday, March 20, 2018

"GULUNGEN PONCODRIYOMU LEBOKNO MARANG RASAMU"

Manungso "manunggaling roso" || Roso kang sejati || Sejatine roso welas,asih,trisno || Lakune sabar,narimo,ikhlas klawan ngalah || "Satriyo Sejati"
"SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI"

"BISMILLAHIROHMANIROHIM"

Kelawan asmanipun Gusti Allah ingkang maha welas lan maha asih || Panggone ning jero ati/zikir kang dadi dasar lakune poncodriyo || Supoyo atine resik soko sifat angkoro sakbanjure muncul rasa welas asih || Sinebut Gusti "bagusing ati"
"GULUNGEN PONCODRIYOMU LEBOKNO MARANG RASAMU"

"KUNCI"

KUmpul nuNggal suCI || Kunci iku dhudhu unine,dhudhu enen-unene,nanging kang mahanani uni || Panggone ing njero rasa || Lakune poncodriyo marang kabeh sing diciptaake dening Gusti Ingkang Moho Suci didasari welas asih kanthi ikhlas || Mung nggayuh ridhone Gusti lan supoyo dijogo "Kelawan Gusti Allah ingkang maha welas lan maha asih" kanthi niat
"BISMILLAHIROHMANNIROHIM"

" Urip iku nuju mati " Mati iku nuju urip kang sejati "

Seperti halnya kelahiran 
Kematian seharusnya menjadi moment yang sangat ditunggu oleh semua mahluk ciptaanNya 
Karena akan menuju di kehidupan sejati 
Urip iku mati 
Mati iku urip 

" Urip iku nuju mati " Mati iku nuju urip kang sejati "

Sangkan Paraning Dumadi

Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.
Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. 
Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Begitulah kira-kira secara gampangnya untuk memahami.

Kemanakah kita bakal ‘pulang’?
Kemanakah setelah kita ‘mampir ngombe’ di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari ‘kurungan’ (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.

Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. 

Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
“Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati”. (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?


Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
“Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip.”

(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).
Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.

Ilmu Urip Sejati #21

Anane pemerintahan model ‘kabuyutan’ lan ‘bebandaran’ nuduhake menawa sejatine Jawa iku duwe sistim pemerintahan sing teratur lan asli. Dudu jiplakan saka Asia daratan (India, Burma, lsp.) kaya dene panemune para pakar sejarah asing. Pancen ana teori-teori ‘nggladrah’ babagan asal-usule wong Jawa klebu budaya lan peradabane. Cilakane, anggone nyusupake teori mau pinter banget, kasebut ‘Jangka’. Manut teori ‘Jangka’ iki, asal-usule wong Jawa iku saka krenahe Sultan Ngerum (Timur Tengah) kang mrihatinake kahanane P. Jawa kang tansah kompal-kampul ing tengahing samodra. Banjur utusan para syech-syech sektine supaya mantek P. Jawa. Panteke wujud Gunung Tidar (Magelang). Sawise P. Jawa anteng banjur diiseni manungsa kang dijupukake saka wilayah Asia daratan. Diusung nganggo prau komplit sak ingon-ingon lan kaperluwan bukak sawah pertanian. Saben prau diiseni wong salaksa (10.000). Menawa dinalar, lha rak ketok banget anggone arep gawe ‘pinunjule’ wong-wong saka Timur Tengah. Buktine, wong Timur Tengah ora duwe ‘budaya bahari’, kok bisa-bisane gawe prau sing bisa momot puluhan ewu manungsa sak kewan-kewane. Lha ya kepriye bisane gawe prau, wong ora duwe alas kang kayu-kayune bisa dianggo gawe prau.
Ana maneh teori awur-awuran kang disebut ‘Jangka’ mau. Yaiku, crita menawa Sang Prabu Jayabaya iku muride Syech Samsujen kang asale saka Ngerum. Klebu nalar apa ora menawa “Ratu Gung Binathara Jawa’ mik trima dadi muride ‘syech’ saka negara Ngerum sing ora kondhang babar pisan ana ing sejarah?
Strategi penjajahan peradaban, ngono panemune KSM babagan anane teori-teori ‘nggladrah’ bab asal-usule wong Jawa lan budayane kang disebut ing ‘Jangka’. Bisa uga panemuku iki akeh sing ora sarujuk. Amarga kadhung percaya banget karo ‘jangka-jangka’ kang sumebar ing tengahing masyarakat. Dhek malem Selasa Kliwon (16 Juli 2007) kepungkur, KSM dikon sesorah ‘Falsafah Panunggalan’ neng ngarepe warga Yayasan Kanthil Semarang. Ana peserta sing takon, posisine
‘Jangka Jayabaya’ neng Falsafah Panunggalan iku priye? Tak wangsuli, menawa ing jangka kang dikarepake isih ana wacana Prabu Jayabaya muride Syech Samsujen, iku jangka ‘omong kosong’. Jangka kang migunakake basa Jawa anyar kasebut perlu dirunut neng basa Kawi. Jalaran nyebut Prabu Jayabaya kang ing jamane maju banget kasusastran Kawi (Kakawin). Yen ora ana rujukan ing basa Kawi, cetha yen ‘jangka’ kang dikarepake karyane penjajah. Tujuwane kanggo
ngringkihake ‘kedaulatan Jawa’.
Para maos, kanyatane ing donya iku pancen ana jajah-menjajah antar peradabane manungsa. Ing kene, Jawa tansah dadi korban penjajahan utawa sing dijajah. Mula akibate budaya lan peradaban Jawa diasorake. Dianggep primitif, kebak klenik lan ketahayulan. Wusanane wong Jawa akeh sing rumangsa ‘isin’ marang budaya lan peradaban warisan leluhure. Amarga wedi mlebu neraka, wong Jawa wis akeh kang ora gelem nindakake lakubudayane kang dicap ‘syirik’ utawa
bersekutu karo setan.
Kamangka, sejatine lakubudaya Jawa iku luhur banget. Ana ing sarasehan Selasa Kliwonan Yayasan Kanthil, tak aturake conto kaluhurane lakubudaya Jawa kang pancadane Falsafah Panunggalan.. “Kambing melahirkan pun perlu diselamati”, ngono irah-irahan berita Harian
Wawasan anggone ngomentari sesorahku. Nylameti laire wedhus, satleraman pancen kayadene tumindak nganeh-anehi lan mubadir. Nanging akeh sing ora mangerti menawa slametan laire wedhus kang wujud ‘dhawet’ iku nuduhake ‘ide Panunggalan’. Senajan wujude wedhus, kanyatane uga titahe Gusti Allah. Wong Jawa kang sadar Panunggalan lan rumangsa diparingi
‘Cipta Rasa Karsa’ mesthi mudheng menawa kudu ngurmati laire titahing Gusti. Perkara peradaban liya nganggep wedhus mik kewan kang syah ‘dibantai’ kanggo ritual agama, iku dudu urusane wong Jawa kang landhep ‘rasa pangrasane’, lantip ciptane, lan tulus sumarah karsane
tumuju marang Panunggalan.
Conto luhure peradaban Jawa liyane, yaiku tradisi sesaji ing malem Jumuwah Kliwon utawa Selasa Kliwon. Wujude sesaji ‘kembang setaman’ kang ing esuke disebar ing prapatan dalan utawa plataran omah. Akeh kang nganggep lakubudaya iki klenik, tahayul, lan syirik. Nanging coba tak aturi nyimak rapal mantrane nyebar kembang, mangkene:
“Ora nyebar kembang, nanging nyebar kabecikan. Gusti Ingkang Maha Kuwasa keparengna Paduka paring kawilujengan lan karahayon dhumateng sedaya titah Paduka ingkang langkung ing prapatan (plataran) punika.” Lha mbok wujud gendruwo, coro, utawa kirik sing liwat katut disuwunake keslametan lan karahayon. Mangga dipenggalih lan ditandhing karo lakubudaya liyane!.

Monday, March 19, 2018

Ilmu Urip Sejati #20

Wuku lan wetonan sejatine dudu ramalan, nanging petung utawa malah bisa diarani sawijining kawruh kanggo mangerteni ‘situasi lan kondisi’ alam lan wataking manungsa manut weton lan wuku kelahirane. Gandheng manungsa kadunungan ‘cipta rasa karsa’ mangerteni kahanan alam semesta lan wewatekane dhewe-dhewe iku migunani kanggo nglakoni urip. Saora-orane kanggo
pangeling-eling murih bisa srawung kepenak karo sapadha-padha.
Pratelan wuku lan wetonan uga dudu kodrat, ananging amung ancer-ancer kahanan kang bisa disiasati dening dayaning ‘cipta rasa karsa’ kang diduweni manungsa. Ya ing kene iki perlune ngoperasionalake kesadaran ber-Tuhan, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban. Menawa ing jeroning batin kita tansah ngupadi nglakoni urip kang ‘becik-bener-pener’ bakale
ya dituntun manggih kamulyan temenan. Beja-cilaka, seneng-susah amung kahanan kang lumrah dialami dening manungsa.
Ngelmu urip candhake ngrembuk bab ‘kesadaran keberadaban’. Tinitah dadi manungsa kang diparingi ‘cipta rasa karsa’ wus samesthine kudu beradab utawa nduweni ‘budi pekerti luhur’. Pigunane kanggo urip bebarengan karo sapadha-padha (manungsa liyane). Ing tengahing bebrayan pancen ana kang duwe panganggep menawa ‘peradaban’ Jawa isih kegolong primitif.
Panganggepe didhasarake anane lakubudaya Jawa ‘atur sesaji’. Malah kepara ana sing ndakwa menawa lakubudaya ‘atur sesaji’ iku ‘bersekutu’ karo setan. Ya, kabeh mau syah-syah wae, wong mung panemu. Tur akeh-akehe panemu kang mangkono iku ora dikantheni ‘nyinau’ luwih dhisik. Nek dijlentrehake larah-larahe sing klebu nalar, padha mbregudul emoh nampa. Lha ya
wis sumangga, wong kadhung nampa piwulang saka peradaban liya kang dianggep luwih bener lan moderen. Peradaban Jawa iku ngrembakane kanthi aras peradaban pertanian sawah lan kebaharian. Ana ing peradaban iki kanyatane dibutuhake ‘makarya bebarengan’. Ora ana
pegaweyan kang bisa ditandangi ijen. Olah tani nggarap sawah lan misaya iwak (kenelayanan) ora bisa tumandang ijen. Mesthi ana sangkut-paute karo manungsa liyane. Contone bab pengairan sawah cetha kudu ana ‘manajemen bersama’ murih padha bisa entuk banyu saka sumber alam kang uga dadi ‘milik bersama’. Semono uga nalika kudu golek iwak neng tengah laut,
mesthi bebarengan sak perahu.
Aras peradaban kang kasebut ndhuwur adoh banget sungsate menawa dibandhingake karo aras budaya ‘penggembala ternak’ ing Asia Daratan lan ‘pertanian kebun’ ing Eropa. Kekarone bisa ditandangi ijen utawa sak keluarga thook. Mula sing berkembang ‘individualisme’ dudu ‘kebersamaan’. Ana ing peradaban kang individualis banjur thukul anane budaya ‘juragan-pekerja’ lan kang ekstrim budaya ‘majikan-budhak’. Ana ing peradaban individualis banjur akeh tabrakan kepentingan: individu, keluarga (klan), lan kabilah kang entek-entekane wujud konflik.
Konflike rebutan padhang penggembalaan, rebutan kesuburan lahan perkebunan, rebutan budhak, lan rebutan ‘kamisuwuran-bandha-wanita’.
Beda banget karo aras peradaban Jawa kang pertanian sawah lan kebaharian. Ana ing peradaban iki, kanthi alamiah wong-wonge padha sadhar menawa ora bisa urip ijen. Padha sadar menawa antarane manungsa siji lan sijine ana ‘hubungan lan saling tergantung’. Biyen=biyene, masyarakat Jawa sing pedalaman (pertanian) nyawiji ana wilayah ‘Kabuyatan’, dene sing
neng pesisir ing wilayah ‘bebandharan’. Malah sing nggumunake, ing masyarakat pesisir, pemimpine para wanita kang disebut Nyai Ageng. Dene ing para Buyut kang akeh-akehe para pria disebut ‘Ki Buyut’ utawa ‘Ki Gedhe’.
Nyai Ageng lan Ki Buyut (Ki Gedhe) kejaba nduweni kaluwihan kepinteran babagan ‘kepemimpinan sosial’, uga padaha nduweni karisma (kaluwihan) ing babagan spiritual. Wewatakane ‘ngayomi’, mula wargane bisa suyud lair terusing batin. Kabeh warga ing
‘bebandharan’ lan ‘kabuyutan’ bisa makarya bebarengan manut kabisane dhewe-dhewe. Arang banget anane ‘konflik’ amarga arase tansah migunakake ‘musyawarah’ kang dipimpin dening pemimpin utama, Nyai Ageng lan Ki Buyut.

Ilmu Urip Sejati #19

Ing tengahing bebrayan wektu iki, akeh kang nganggep primbon pawukon lan wetonan petungan kang ora klebu nalar, gugon tuhon ngayawara. Malah-malah akeh uga kang nganggep ‘bertentangan’ karo ajaran agama. Nanging anehe, sing padha maido iku nyatane ya ora
wani nerak kapercayaan anane dina becik lan ala. Uga ana kang isih perlu golek dina becik nalikane arep mantu, pindhah omah, serah terima jabatan lan sapanunggalane.
Kanyatan mangkene iki nuduhake menawa sejatine ing jero batine wong Jawa pancen wis kadunungan ‘kesadaran semesta’ kang mbalung sungsum. Anane padha duwe anggepan yen wuku lan wetonan gugon tuhon mung sawijining ‘pepinginan’ ben diarani moderen utawa
‘lurus imane’.
Pancen gegandengan karo masalah owah-owahan kahanan semesta alam kang dipetung nganggo wuku lan wetonan banjur ana tuntunan Jawa kanggo ‘menyiasati’ murih becike. Tuntunan mau ana kang wujud ritual sesaji lan ruwatan kang ora gampang dinalar. Upamane kang disebut ‘sedhekah ngawekani sambekala wuku’ utawa ‘ruwatan wuku’ kang wujude ritual kendurenan. Apa maneh dongane kok dudu donga Jawa nanging donga agama Islam kang diwenehi pengantar nganggo basa Jawa. “ Apa mandi dongane ?”, mangkono pitakonan kang kerep ditampa KSM.
Ewuh aya anggone arep nerangake. Amarga bab iki pancen ana sambunge karo transformasi budaya nalika lumebune agama Islam ing Jawa. Menawa digoleki ing literatur bab anane sambekala wuku lan tatacara sidhekahe kaya kang disebut ing buku-buku primbon, ketemune mung ana ing jaman kapujanggan. Yaiku jaman nalikane akeh lakubudaya Jawa kang wis dileboni pengaruh agama Islam. Mula (pandugane KSM) babagan sesaji lan donga ngawekani ‘sambekala wuku’ wis ora asli Jawa maneh.
Gumantung sing nampa. percaya njur dilakoni ya becik, ora percaya ya resiko pribadine dhewe-dhewe. Amarga pratelan ing wuku lan wetonan amung kaya dene ancer-ancer sipating manungsa kang disebabake kahanan aurora kosmis semesta nalikane lair. Fungsine kanggo instropeksi dhiri anggone nglakoni urip murih ngati-ati. Karomaneh, kanyatane pratelan wetonan lan pawukon ora bisa ditampa mentahan. Jalaran bisa gawe nglokro menawa pratelane elek, nanging uga bisa
njalari kemlungkung menawa pratelane tiba becik. Kabeh isih butuh disurasa dhewe-dhewe sagaduke ‘cipta rasa karsa’ kang diduweni.
Pratelan wuku lan wetonan uga dudu ‘kodrat’, nanging amung kaya dene ‘bungkus kosmis’ kang bisa disuwak utawa diluruhake. Gambarane kaya dene pengaruh lingkungan (masyarakat) marang perkembangan SDM. Menawa kahanan masyarakate pancen endhek kualitas peradabane, SDM uga endhek kualitase. Bisane owah menawa diwulang (pendidikan). Mengkono uga bab pratelan wuku lan wetonan kang gegayutan karo watak wantune manungsa bisa disuwak lan diowahi sarana ‘laku’ ngoptimalake dayane ‘cipta-rasa-karsa’.Ananging gandheng kang dadi sumber pengaruhe iku kahanan alam semesta, mula laku panyuwake uga ora gampang. Mulane para leluhur banjur njupuk panyuwake sambekala wuku nganggo sesaji lan didongani. Pamrihe
supaya gampang dilakoni dening ‘awam’. Wondene ‘kahanan alam semesta’ kang pancen ora becik kanggo sawijining pakaryan, para leluhur paring pepeling murih disingkiri. Pamrihe kanggo pangati-ati anggone tumindak lan tansah eling marang kahanan alam semesta. Pangati-ati iku becik, dadi ngawur banget menawa ana komentar nganggep ‘klenik’ marang kang percaya anane dina ala lan dina becik kanggo sawijining pakaryan.
Ilmu Pengetahuan lan Teknologi jaman saiki pancene wis bisa menehi andharan babagan observasi alam semesta. Pirang-pirang satelit bisa diorbitake kanggo kepentingan komunikasi lan mengamati gejala lan peristiwa alam semesta. Pigunane akeh banget tumraping manungsa. Nganti bisa ‘ngramal’ bakal anane bencana alam werna-werna. Kabeh observasi alam semesta mau bakune uga kanggo mangerteni owah gingsire kahanan alam semesta kang tujuwane golek ‘slamet’. Mula ing kene becike ditunggu wae asile observasi mau jumbuh apa ora karo pratelane wuku lan wetonan cara Jawa. Menawa jumbuh tegese leluhur Jawa wis ndhisiki ngerti pakartine alam semesta. Dene yen geseh, lagi bisa diarani menawa kawruh warisane leluhur Jawa bab
wuku lan wetonan pancen ‘ngayawara’.

Ilmu Urip Sejati #18

Panjumbuhe petung Wariga Gemet karo penanggalan sistem lunar (komariyah) ngasilake Penanggalan Jawa kang banjur bisa ‘nyambung’ (senajan ana bedane) karo penanggalan Hijriyah Islam. Angka taun Penanggalan Jawa ora njupuk angka taun Hijriyah, nanging nerusake
angka taun Saka kang sisteme solar (syamsiyah). Bab iki ora amarga Jawa ngemohi penanggalan Hijriyah, nanging murih cetha prabedane penanggalan Jawa (lunar) karo penanggalan Hijriyah. Karomaneh, penanggalan Saka kang neng Jawa wis lumaku wiwit mlebune agama Hindhu wis dianggap penanggalan Jawa. Malah-malah, menawa dikaitake karo Pranata Mangsa (sasi, wulan),
bisa uga penanggalan Saka kang dianggo wong Jawa ora padha karo penanggalan Saka sing dianggo ing tanah Hindustan (India).
Penanggalan Jawa yasane Sultan Agung digawe murih bisa nglebokake sistim petungan wektu (Wariga Gemet) kang wis ‘mentradisi’ lan asli Jawa. Upamane, kejaba wuku lan wetonan isih ana jenenge taun cacah 8, windu cacah papat, tumekane kurup cacah 7 (sawise dijumbuhake,
sadurunge ana 35).
Cathetan bab kurup: Lumakune saben 120 taun, yaiku ngajokake sedina tibane tanggal 1 Sura taun Alip. Menawa kurup sadurunge tiba Rebo Wage (Kurup Aboge), candhake ditibakake Selasa Pon (Kurup Asapon), tegese puteran kurup manut cacahe dina wetonan (35). Sawise
dijumbuhake cukup pitung kurup kang jenenge manut urutan mundur jeneng Padinan. Upamane sadurunge tiba tanggal 1 Sura taun Alip tiba dina Saptu dijenengi kurup Sabtiyah, kurup sateruse tiba dina Jemuwah dijenengi kurup Jamngiyah.
Ing bawarasa Ngelmu Urip perlu banget diaturake pangerten-pangerten petung wektu Jawa iki jalaran ing tengahing masyarakat akeh kang nganggep petung wektu Jawa ngayawara lan tahayul. Ana uga kang duwe anggepan menawa Kalender Jawa iku mung jiplakan saka Kalender Hijriyah. Tegese, ngasorake kawruhe leluhure awake dhewe lan muji-muji kawruh saka manca kang urung
mesthi nyocogi kanggo nglakoni urip neng tanah Jawa. Petung wektu Jawa mujudake perangan pangati-ati kang tliti temenan. Mula, bisa uga, ya mung wong Jawa kang duwe krenah menehi wataking kahanan utawa ciriwanci tumrap dina-dina ing Wariga Gemet cacah 210. Kejaba nganggo dhedhasar wataking: Wuku, Padinan, Pasaran lan Paringkelan, uga dilebokake petungan dina Padewan (saubengan 8 dina) lan Padangon (saubengan 9 dina). Sabanjure ditambahake petungan neptu cacah 3, yaiku: Petungan Pancasuda (7 werna), Rakam (6 werna), lan Paarasan (10 werna). Uga ana luluri utawa pangeling-eling anane dina-dina kang duwe bobot kahanan ‘aurora kosmis khusus’, yaiku: Tali Wangke, Sampar Wangke, Sarik Agung, Kala Dhite, Dhendhan Kukudan lan Sengkan Turunan.
Kabeh petung lan pepeling tumuju marang pangati-ati anggone mangerti kahanan owah gingsire aurora kosmis alam semesta ing saben dinane. Kanyatane, kahanane planet bumi ing tengahing alam semesta tansah dayan dinayan karo sakabehing ‘benda angkasa’. Daya-dinayan iku nuwuhake aurora kosmis kang tansah owah gingsir dinamis manut posisine bumi karo benda-benda angkasa liyane mau.
Contone:
– Hubungane bumi karo srengenge ndadekake ana awan lan bengi, uga ndayani urip kehidupan) marang flora lan fauna, nuwuhake angin lan udan kang sabanjure (kanggone manungsa Jawa) bisa ditengeri anane ‘mangsa’ (musim) cacah 12 saben taune.
– Hubungane bumi karo rembulan ana dayane kang njalari ana pasang lan surut tumraping banyu segara. Uga ndayani prilakune flora lan fauna.
Menawa srengenge lan rembulan nduweni daya pangaribawa tumraming urip (kehidupan) titahing Gusti Allah kang manggon ing bumi, milyaran lintang ing angkasa mesthi uga ada daya pangaribawane. Ana daya aurora kosmis kang sipate bisa dititeni sacara empiris, nanging uga
ana daya kang sipate kudu dimangerteni kudu nganggo daya spirituil. Gandheng titah manungsa (Jawa) kaparingan daya empiris (cipta rasa karsa) lan daya spirituil, mula bisa mangerteni sakabehing owah-owahane aurora kosmis alam semesta lan pengaruhe marang urip lan panguripane manungsa. Iya nganggo dhasar pangerten iki, ing Jawa ana Primbon Pawukon lan
Wetonan kang kanggo mangerteni watak lan lelakone uripe manungsa kang gegayutan karo weton lan wukune nalika lair.

Ilmu Urip Sejati #17

Petung ‘perjalanan wektu’ (kalender) Jawa pancene pepak temenan. Kejaba kalender kang wewaton ubenge rembulan (komariyah, lunar) lan ubenge bumi ngiteri serengenge (syamsiyah, solar), Jawa duwe petungan Wariga Gemet kang ubengane 210 dina. Ing Bali petungan iki disebut ‘Pewarigaan’. Wewaton petungan iki njumbuhake petung: Padinan (saubengan 7 dina),
Pasaran (saubengan 5 dina), Paringkelan (saubengan 6 dina), lan Pawukon (saubengan 30 minggu = 210 dina). Ana ing prasasti lan kitab-kitab kakawin (basa Kawi), cathetan wektu wujud gabungan antarane petung Wariga Gemet lan taun Saka (Çaka) lan Mangsa. Kanggo iku
diaturake conto:
Sejarah dan Prasejarah Bahasa Jawa Kuno Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa Kuno terutama berdasarkan piagam-piagam dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-lempeng dari perunggu. Tulisan-tulisan itu biasanya menyebut tanggal dikeluarkannya lewat sebuah sistem rumit yang berkaitan dengan gejala-gejala astronomis. Demikian misalnya prasasti SUKABUMI (bahasa Jawa Kuno) diawali begini: “Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari Haryang (hari kedua dalam minggu berhari enam), Wage (hari keempat dalam minggu berhari lima), Saniscara (hari ketujuh dalam minggu berhari tujuh)…” dan seterusnya. Inilah sebuah contoh khas cara orang Jawa
dulu menentukan sebuah tanggal.
Dalam prasasti-prasasti kemudian hari, sistem tersebut disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut tingginya bulan, sebuah planit tertentu dan konstelasi maupun konjugasi dua bintang. Demikianlah pada umumnya terbuka kemungkinan untuk mengalihkan tanggal sebuah prasasti ke dalam kronologi kita dengan suatu kadar kepastian yang cukup memadai. Dan mengenai prasasti
SUKABUMI kita lalu sampai pada tanggal 25 MARET tahun 804 M. (P.J. Zoetmulder, Kalangwan (1974) halaman 3).
Cerita tentang penulisan Wirathaparwa Waisampayana: “Duli Baginda, beginilah sejauh yang
saya ingat. Kita mulai membaca cerita ini pada hari ke-15 bulan gelap dalam bulan ASUJI; harinya TUNGLE, KALIWON, BUDHA, pada wuku PAHANG dalam tahun 918
penanggalan SAKA. Dan sekarang ialah MAWULU, WAGE, RESPATI dalam wuku MADANGKUNGAN, pada hari ke-14 paro petang dalam bulan KARTTIKA. Jadi waktunya genap satu bulan kurang satu hari. Pada hari kelima Baginda tidak menitahkan diadakannya suatu pertemuan, karena Baginda terhalang oleh urusan lain. Menerjemahkan cerita ini ke dalam Bahasa Jawa Kuno minta waktu yang cukup banyak. Duli mengharapkan, agar pembawaan tidak melampaui kesabaran Baginda dan tidak dianggap terlalu panjang.”
Di sini kita berjumpa dengan suatu contoh bagaimana tanggal dibawakannya untuk pertama kali sebuah karya Jawa Kuno (deklamasi perdana) ditentukan dengan cukup rumit. Menurut kronologi modern tanggalnya ialah sejak 14 Oktober sampai 12 Nopember tahun 996 M. (P.J. Zoetmulder, Kalangwan (1974), halaman 110). Conto kasebut ing ndhuwur nuduhake menawa kawit biyen
mula wong Jawa wis duwe tatacara dhewe netepake tanggal (wektu). Disebutake wektune omplit banget. Disebutake kahanane rembulan (petung lunar): ‘paro petang’ lan ‘paro terang’. Kahanane ‘mangsa’ (PJZ nerjemahake bulan – petung solar). Panyebute dina nganggo petung Wariga Gemet (Wuku, Padinan, Paringkelan, Pasaran). Lan disebutake uga angka taun penanggalan Saka.
Kanthi mangkono, Jawa sejatine pancen wis duwe tata penanggalan sing lunar (komariyah) lan sing solar (syamsiyah). Malah diganepi nganggo petung Wariga Gemet. Nanging pancen sajake ora duwe cathetan angka taun, mula jaman prasasti lan kakawin sing dianggo angka taun Saka.
Ing Jaman Mataram Sultan Agung, petung Wariga Gemet dijumbuhake karo Penanggalan Hijriyah. Hebate, banjur bisa ditemokake wilangan siklus dina kang jumbuh karo petung penanggalan lunar lan Wariga Gemet, yaiku 5670 dina kang padha karo 2 windu (16 taun).

Ilmu Urip Sejati #16

Ngelmu Urip cara Jawa sumber bakune filosofi Jawa, panunggalan. Wondene kang dituju kanggo nggayuh urip bebarengan kang tata tentrem kerta raharja. Menawa diringkes, kang dituju iku: slamet. Slamet kanggo pribadi, slamet kanggo kulawarga, slamet kanggo bebrayan, munggahe slamet utawa hayuning bawana. Kanggo nggayuh sakabehing slamet mau, ajaran Jawa
mulangake cara pangati-ati. Sakabehing persoalan ditimbang-timbang lan dipetung mateng. Mula banjur ana ‘ngelmu petung’. Yaiku ngelmu pangati-ati anggone nemtokake tumindak murih bisa nggayuh slamet. Kang paling populer babagan ‘ngelmu petung’ iki, yaiku petung owah gingsire kahanan ‘alam semesta’ kang diarani Primbon Wuku lan Wetonan.
Primbon Wuku lan Wetonan klebu ngelmu kang angel lan rumit, mula akeh kang banjur ora percaya pigunane. Malah-malah banjur ana sing nganggep gugon tuhon lan ngayawara. Kamangka sejatine mujudake sawijining sarana kanggo tumindak ngati-ati. Lan maneh uga
nganggo landhesan kang maton, yaiku anane owah gingsire kahanan alam semesta.
Para leluhur Jawa kanyatane bisa niteni babagan owah gingsire alam semesta miturut lakuning wektu. Bangsa liya, owah-owahan iku akeh-akehe amung kanggo nyatheti ‘perjalanan waktu’. Dene para leluhur Jawa kang nduweni ‘kesadaran semesta’, owah gingsire kahanan alam semesta ana pengaruhe tumrap kahanan uripe manungsa. Salagine ubenge bumi ing sumbune, wis
menehi owahing kahanan anane awan lan bengi. Naluri alamiah manungsa urip yen awan padha luru pangan dene bengine turu. Mula ora mokal menawa owah-owahan ‘posisine’ bumi karo sakabehing ‘benda angkasa’ ana daya pengaruhe marang uripe manungsa. Kesadaran semestane wong Jawa banjur bisa menehi tenger owah gingsire kahanan alam semesta. Ing antarane tenger owahing kahanan miturut perjalanan waktu :
1. Pasaran (Pancawara), etungan dina cacah 5 (lima):
Kliwon (Kasih), Legi (Manis), Paing (Jenar), Pon (Palguna), Wage (Cemengan, Kresna, Langking).
2. Paringkelan (Sadwara), etungan dina cacah 6 (enem):
Tungle, Aryang, Warukung, Paningron, Uwas, Mawulu.
3. Padinan (Saptawara), etungan dina cacah 7 (pitu):
Akat utawa Minggu (Dhite, Radhite, Radhitya), Senen (Soma), Selasa (Anggara), Rebo (Budha), Kemis(Respati, Wrahaspati), Jumuwah (Sukra), Saptu (Tumpak,Saniscara).
4. Padewan (Hastawara), etungan dina cacah 8 (wolu):
Sri, Indra, Guru, Yama, Rudra, Brama, Kala, Uma.
5. Padangon (Nawawara), etungan dina cacah 9 (sanga):
Dangu, Jagur, Gigis, Kerangan, Nohan, Wogan, Tulus, Wurung, Dadi.
6. Wuku (minggu) ana 30 (telung puluh): Sinta, Landhep, Wukir, Kuranthil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandhasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail,
Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dhukut, Watugunung.
7. Sasi ana 12 (rolas): Sura, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidah, Besar.
8. Taun ana 8 (wolu): Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir.
9. Windu (umur 8 tahun) cacahe ana 4 (papat): Windu Adi (Linuwih), Windu Kuntara (Ulah), Windu Sengara (Panjir), lan Windu Sancaya (Sarawungan). Lakuning Windu saubengan ana 32 taun.
10. Lambang (umur 8 tahun) cacahe ana 2. Jenenge urut jenenge Wuku manut tumibane tanggal 1 Sura taun Alip ana ing dina kang klebu ing Wuku sing kanggo jeneng. Lakuning Lambang saubengan ana 16 taun.
11. Kurup (umur 15 windu = 120 tahun). Jenenge Kurup ana (7) pitu, manut tibane dina tanggal 1 Sura taun Alip: Tiba dina Jumuwah – Jamngiyah, Kemis – Kamsiyah, Rebo – Arbangiyah, Selasa – Salasiyah, Senen – Isnainiyah, Akad – Akadiyah, lan Sabtu – Sabtiyah.
12. Mangsa (sasi manut Suryasangkala, Tahun Saka): Kasa = Karttika, Karo = Pusa, Katelu = Manggasri, Kapat = Citra, Kalima = Manggakala, Kanem = Naya, Kapitu = Palguna, Kawolu = Wisaka, Kasanga = Jita, Kasapuluh = Srawana, Dhasta (Kasewelas) = Padrawana, Saddha
(Karolas) = Asuji.

Ilmu Urip Sejati #15

Spiritualisme Jawa kang intine kesadaran religius, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban bisa kanggo pancadan dhudhah-dhudhah sakabehing Kawruh Kejawen. Uga kena kanggo milah-milahake endi kang ‘becik-bener-pener’ lan endi kang mung ‘ngelmu karang’. Nanging, ora saben wong Jawa bisa kadunungan kabisan ing jagad spiritualisme. Saperangan gedhe malah awam lugu lan butuh dituntun. Mula ing tengahing bebrayan Jawa akeh tinemu anane sesepuh kang dipercaya dadi panuntun.
Sesepuh kang dadi panuntun biyen-biyene uga mujudake tetungguling bebrayan (tetua adat). Sebutane werna-werna, upamane: Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Gedhe, Ki Ageng, lan liya-liyane. Lumrahe uga dadi panguwasa ing tanah perdikan kang bebas mardika ora direh pemerintahan kerajaan. Nanging anane owah-owahan jaman, tanah-tanah perdikan dikuwasani para raja.
Tetungguling bebrayan (tetua adat) didadekake ‘hirarki jabatan tata pemerintahan’. Ki Ajar, Ki Buyut, Ki Ageng lan Ki Gedhe diganti Bupati (Tumenggung), Wedana, Demang, lan sapiturute.
Tata pemerintahan migunakake kukum (sistem) kang diadopsi saka budaya lan peradaban manca. (Asia Daratan lan Eropa). Peranane para tetua adat Jawa kesisih, wusanane mung kari para ‘sesepuh pinggiran’ kang dianggep duwe kaluwihan. Marang sesepuh pinggiran mangkene iki wong Jawa awam padha golek ‘tuntunan’ spiritualisme.
Cilakane, para sesepuh pinggiran uga diarani dukun. Mula banjur ana anggepan negatif menawa wong Jawa seneng merdukun. Banjur tuwuh anggepan spiritualisme (kebatinan) Jawa dipadhakake karo ‘ngelmu perdukunan’. Wusanane nglairake panganggep menawa spiritualisme
Jawa iku ‘aliran sesat’ kang ‘bersekutu karo setan’ lan sapiturute.
Penyebaran agama saka manca lan lumebune modernisasi ala Barat kang ujung tombake ilmu pengetahuan lan teknologi ing tanah Jawa intensif banget tumekane wektu iki. Nilai-nilai Jawa kejepit ing antarane religiusitas agama lan rasionalitas moderen Barat. Kamangka wiwit saka sumber asale, antarane religiusitas lan rasionalitas ‘terperangkap perseteruan’ kang ora ana enteke. Akibate, kejepite Jawa uga terus-terusan. Para pujangga Jawa kang waskitha banjur ngrekadaya bisane uwal saka ‘situasi kejepit’ kasebut. Ing kene banjur lair ‘Kawruh Kejawen’ kang intine nerangake ‘Sejatining Urip’ (Hakekating urip, Ngelmu Urip).
Iya wiwit jaman kapujanggan sejatine Kejawen kang adiluhung wiwit ditata diskripsine. Para pujangga nganggit tulisan-tulisan diskripsi babagan: kebatinan (spiritualisme), balsafah (filosofi lan etika), laku budaya (pertanian, ekonomi, sosial, ritus-ritus, lsp.), primbon, pranata mangsa, seni budaya (wayang, karawitan, tari, batik, keris, arsitektur, lsp.), basa lan sastra, sarta ngelmu-ngelmu liyane kang dibutuhake kanggo uripe manungsa Jawa. Diarani adiluhung jalaran
sakabehing kawruh Jawa kasebut dimomoti konsep: religius, sadar semesta lan kesadaran berbudi luhur (beradab).
Emane, perkembangan situasine akeh-akehe wong Jawa dhewe nganggep Kejawen iku rumit lan angel dimudhengi. Banjur padha golek gampange (pragmatisme) milih mengadopsi budaya lan peradaban manca kang luwih populer lan gampang. Sethithik mbaka sethithik Kejawen dilalekake kang wusanane ilang kesilep dening dominasine nilai-nilai religius agama lan rasionalitas Barat.
Kodrat pepesthene Gusti Kang Maha Agung kanyatane ora gampang ilang musna. Semono uga kinodrat Jawa uga ora gampang ilange senajan kesilep dening dominasi tata nilai liya. Arepa ing tata lair wong Jawa malih ora Jawa maneh, kanyatane otot bayune tetep Jawa. Senajan ngelmu urip cara Jawa wektu iki dilalekake, nanging isih tetep ana ing sajroning batine saben wong Jawa.
Kanthi mangkono isih bisa diuri-uri lan sawijining wektu ing mbesuke bakal dadi ideologine wong Jawa maneh. Apamaneh ing mengko sawise akeh sing mangerti menawa ngelmu urip Jawa iku piwulang luhur babagan ‘sejatining urip’ tumraping manungsa. Lan cetha banget arase kanggo urip bebarengan.

Ilmu Urip Sejati #14

Sing wis lumrah dimangerteni umum, carakan aksara Jawa iku disambungake karo dongeng ‘Ajisaka’. Kamangka figur Ajisaka iku misterius banget. Asale saka India kang teka ing tanah Jawa kira-kira abad 3-4 M. Kamangka penelitian bab aksara Jawa ‘hanacaraka’ nemokake menawa panganggite lan digunakake wiwit jaman Sultan Agung (Abad 16). Malah-malah, bisa uga, nembe ing jaman kapujanggan. Jaman nalikane Jawa saperangan gedhe wis dijajah Landa kang nyebarake pemikiran rasionalitas lan aksara Latin. Dene umume wong Jawa wektu iku luwih akrab karo pemikiran religius Islam lan aksara Arab Pegon. Iya amarga kanggo ngawekani
kemungkinan konflik iku, para winasis Jawa ngrekadaya ‘menjembatani’ kanthi mulangake ‘hakekating urip’ nganggo carakan aksara Jawa ‘hanacaraka’ kasebut. Ana uga piwulang ‘hakekating urip’ kang migunakake urut-urutane carakan aksara Jawa Piwulang kasebut
dening suwargi Ir. Sri Mulyono ana ing bukune “Apa dan Siapa Semar’ disebut ‘Filsafat Nusantara’:
Ha : Hananira sejatining wahananing Hyang.
Na : Nadyan nora kasat mata pasti ana.
Ca : Careming Hyang yekti tan cetha wineca.
Ra : Rasakena rakete lan angganira.
Ka : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka.
Da : Dadi sasar yen sira nora waspada.
Ta : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita.
Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa.
Wa : Waspadakna wewadi kang sira gawa.
La : Lalekna yen sira tumekeng lalis.
Pa : Pati sasar tan wun manggya papa.
Dha : Dhasar beda kang wus kalis ing godha.
Ja : Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga.
Ya : Yatnana liyep luyuting pralaya.
Nya : Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan.
Ma : Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar.
Ga : Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga.
Ba : Bali murba misesa ing njero njaba.
Tha : Thakulane widadarja tebah nistha.
Nga : Ngarah ing reh mardi-mardiningrat
Ngelmu urip Jawa pancadane ana ing kesadaran religius, kesadaran kesemestaan lan kesadaran keberadaban (kemanusiaan). Mula bab spiritualisme Jawa penting banget dimangerteni kanggo menerake kesadaran telung perkara kasebut. Wirid Wolung Pangkat lan kandhungan nilai-nilai filosofis aksara Jawa bisa kanggo pancadan mangerteni spiritualisme Jawa kang ora liya wujud
‘piwulang sejatining urip’.
Bisa uga akeh para kadang kang kurang bisa nampa wejangan Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat Nusantara. Wondene anggone maoni jalaran kang sinebut ing wejangan lan filosofi iku dudu sabda dhawuhing Gusti kang liwat utusan (mesias, nabi). Pancene Jawa ora kenal sing disebut utusan kayadene kang lumrah ing agama. Kang ana amung pangandikane para winasis kang lumrahe disebut ‘guru’ utawa ‘panuntun’. Jejibahane guru iku mulang lan nuntun siswane mangerteni kawruh. Wondene kawruhe dhewe uga saka anggone ‘meguru’. Gurune ngerti kawruh uga saka meguru maneh. Ing kene banjur sapa guru kang sepisanan paring wedaran kawruh ?
‘Guru Sejati’ ora liya iya Pangeran utawa Gusti kang dadi sesembahane sakabehing titah dumadi. Mulane kawruh kang diwulangake para winasis amung nuduhake dalan supaya siswane gelem nglakoni ‘sinau’ marang ‘Guru Sejati’. Wirid Wolung Pangkat apadene Filsafat Nusantara iku fungsine dadi kawruh panuntun marang kita kabeh (lajer Jawa) supaya meguru marang Guru
Sejati. Mula ora salah anggone para pujangga ngendika “Durung wenang amumuja Bathara lamun durung nglakoni tapabrata”. Wondene laku tapabrata wus diringkes wujud ‘Pancabrata’ kang wus diaturake. Jutuling laku, utawa bisane rampung tapabratane sawuse nampa ‘wahyu dyatmika’ kang ana ing basa ampange bisa diarani ‘pencerahan’. Pencerahane ya pencerahan bab ‘Ngelmu Urip’.

Ilmu Urip Sejati #13

Wejangan Wolung Pangkat (Martabat) medarake “konsep spiritual” Jawa menawa ‘sejatining uripe’ manungsa “tunggal kahanan” karo sesembahane kang disebut Pangeran utawa Gusti. Yaiku: dzat mutlak suwung, abadi, tanpa arah tanpa papan, tanpa kantha (wujud) tanpa warna, sepi ing ganda-rasa-swara, asipat elok, ora lanang ora wadon ora wandu, rumasuk ing alam semesta saisine.
Wejangan Wolung Pangkat ana ing serat-serat kapujanggan disebutake minangka kawruh Warisane para Wali. Wondene sumbere saka wejangane Kanjeng Nabi Muhammad marang Sayidina Ali. Pamejange kanthi cara diwisikake ing talingan kiwa. Bener lan orane krenahe para pujangga anggone nyantholake Wejangan Wolung Pangkat marang para Wali butuh ditelisik sing jero. Apa ya ana wejangan kaya ing wirid kasebut ana ing ajaran Islam. Utamane bab ketasawufan. Kanggo iku, becike para kadang kersa maos ‘Islam Kejawen’ tulisane Prof. Simuh kang ngudhari “Serat Wirid Hidayat Jati’ anggitane R.Ng. Ranggawarsita.
Wejangan Wolung Pangkat diaturake ing bawarasa ‘Ngelmu Urip’ kepentingane kanggo mangerteni ‘pokok baku’ konsep spiritualisme Jawa. Keadiluhungan piwulang kebatinan Jawa kanyatane akeh kang sumbere saka literatur serat-serat kapujanggan (Kawiwitan jaman Sultan Agung). Menawa diunggahake ing literatur ing sadurunge (parwa lan kakawin) wis akeh kang ora
mudheng basane. Mula perlu dikaji bener lan orane menawa basa Jawa kang saiki isih lumaku iki
biyen-biyene saka basa Kawi (Jawa Kuna). Pandugane KSM, basa Jawa Kuna iku basa persatuan (lingua franca), dudu basa ibu kanggone wong Jawa. Mula ora merakyat lan ora dimudhengi dening umume wong Jawa. Menawa panduga iki bener, bisa didudut pangerten menawa sejatine Jawa iku sepanjang sejarahe dikooptasi (terjajah secara spiritual) dening budaya lan peradaban asing. Wiwit thukul kejatidhiriane maneh nalika Sultan Agung jumeneng nata ing Mataram. Wiwit jaman iku para intelektual Jawa (pujangga) nganggit sastra kang ngemot ilmu-ilmu Jawa kanggo ‘melawan’ kooptasi budaya lan peradaban asing. Salah sijine kanggo ‘menjembatani’ kutub religius agama lan kutub rasionalitas sekuler Barat kang digawa penjajah Landa.
Kanyatane ing donya iki pancen ana kutub werna loro iku. Analisane para winasis Jawa, ngandhakake menawa kutub werna loro (religius agama lan rasionalitas sekuler) iku tansah regejegan kang gawe ora tentreme kahanan donya. Analisane digawe crita ‘carakan aksara
Jawa’: hanacaraka (piwulang urip: religius lan rasionalitas), datasawala (regejegan rebut bener),
padhajayanya (padha dene duwe argumen dasar kang kuwat), magabathanga (tumuju konflik kang bisa gawe pepati).
Hebate, para winasis Jawa banjur nemokake solusi kanggo ‘meredam konflik’ kasebut tumrape bebrayan Jawa kanthi mulangake ‘hakekating urip’. Piwulange uga dimomotake ana ing nilai-nilai filosofis aksara Jawa. Ing antarane nerangake menawa sakabehing aksara Jawa
iku dipapanake ana ing angganing manungsa urip:
Ha : Endraprawata, dununge ing grana utawa irung.
Na : Purwana, dununge ing netra (mripat).
Ca : Sandipranata, dununge ing lesan (tutuk).
Ra : Pujanggatarulata, dununge ing rema (rambut).
Ka : Endradipa, dununge ing karna (kuping).
Da : Pujanggataruresmi, dununge ing jangga (gulu).
Ta : Tunjungresmi, dununge ing asta (tangan).
Sa : Sekarsinom, dununge ing dhadha.
Wa : Purwakanthi, dununge weteng.
La : Purwaresmi, dununge ing lempeng antarane lambung lan ula-ula.
Pa : Pratignya, dununge ing puser.
Dha : Patista, dununge ing kempung, weteng perangan ngisor wudel.
Ja : Baskara, dununge ing blegere manungsa disawang saka kadohan.
Ya : Purwangka, dununge ing perji (wewadi).
Nya : Pujanggamurdha, dununge ing pupu Mông : Pustakajamus, dununge plawangan ngisor
(silit).
Ga : Krendha, dununge ing gantangan (pupu kekarone).
Ba : Prawignyaadi, dununge ing bokong.
Tha : Gendhingbarang, dununge ing thiklek (cecingklok, dhengkul mburi).
Nga : Bonangrante, dununge ing dalamakan (tlapak sikil).
A : Sunggingpurbakara, dununge ing titis, yaiku: wujud sawutuhe manungsa.

Ilmu Urip Sejati #12

Piwulang Jawa kang ngrembuk babagan ‘Sejatining Urip’ digelar ing ‘Wirid Wolung Pangkat’ utawa ‘Wolung Martabat’ kaya kasebut ing ngisor iki:
1. Wejangan pituduh wahananing Pangeran :
Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran nanging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal).
2. Wejangan pambuka kahananing Pangeran :
Satuhune Ingsun Pangeran Sejati, lan kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi ana padha sanalika saka karsa lan pepesthening-Sun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa lan pakartining-Sun kang dadi pratandha :
Kang dhihin, Ingsun gumana ing dalem alam awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wekasan, iya iku alaming-Sun kang maksih piningit.
Kapindho, Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaning-Sun dumunung ana ing alam
pasenedaning-Sun.
Kaping telu, Ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan rahsaning-Sun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji.
Kaping pat, Ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaning-Sun, dumunung ana alaming herah.
Kaping lima, Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaning-Sun ana ing sajerone alam kang lagi kena kaupamakake.
Kaping enem, Ingsun anganakake budi kang minangka kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing sajerone alaming badan alus.
Kaping pitu, Ingsun anggelar warana (tabir) kang minangka kakandhangan paserenaning-Sun. Kasebut nem prakara ing ndhuwur mau tumitah ing donya, yaiku sejatining manungsa. (Dzat Urip kang ana ing manungsa, ksm).
3. Wejangan gegelaran kahananing Pangeran :
Sajatining manungsa iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake wiji kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaning-Sun, yaiku sasamaning geni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakara, yaiku: cahya, cipta, suksma (nyawa), angen-angen lan budi. Iku kang minangka embanan panuksmaning-Sun sumarambah ana ing dalem badaning manungsa.
4. Wejangan kayektening Pangeran amurba ciptane manungsa :
Sajatine Ingsun anata palenggahan parameyaning-Sun (baitul makmur) dumunung ana ing sirahing manungsa, kang ana sajroning sirah iku utek, kang gegandhengan ana ing antarane utek iku manik (telenging netra aran pramana), sajroning manik iku cipta (nalar), sajroning cipta iku budi, sajroning budi iku napsu (angen-angen), sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sagunging kahanan.
5. Wejangan kayektening Pangeran amurba rasa pangrasaning manungsa :
Sajatine Ingsun anata palenggahan laranganing-Sun (baitul haram) dumunung ana dhadhaning manungsa, ing sajroning dhadha iku ati lan jantung, kang gegandhengan ing antarane ati lan jantung iku rasa pangrasa, ing sajroning rasa pangrasa iku budi, ing sajroning budi iku jinem (angen-angen, napsu), sajroning jinem iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sagunging kahanan.
6. Wejangan kayektening Pangeran amurba tuwuhing wiji uripe manungsa :
Sajatine Ingsun anata palenggahan pasucianing-Sun (baitul kudus) kang dumunung ana kontholing (wadon: baganing) manungsa, kang ana ing sajroning konthol (wadon: baga) iku pringsilan (wadon: purana), kang ana ing antaraning pringsilan (wadon: purana) iku mani (wadon: reta), sajroning mani (wadon: reta) iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun.
Ora ana Pangeran anging Ingsun, Sejatining Urip kang anglimputi sak liring tumitah, jumeneng dadi wiji kang piningit, tumurun mahanani sesotya kang dhingin kahanan kabeh maksih dumunung ana alaming wiji, laju manggon ana alam pambabaring wiji, laju tumurun ana alaming suksma, laju tumurun ana ing alam kang durung kahanan (alam kang ingaran upama), laju tumurun marang alam donya (alaming “manungsa urip”), iya iku sajatine warnaning-Sun.
7. Wejangan panetepan santosaning pangandel :
Yaiku bubukaning kawruh “manunggaling kawula-gusti” sing amangsit pikukuh anggone bisa angandel (yakin) menawa urip kita pribadi kayektene rinasuk dening dzate Pangeran (Dzat Urip, Sejatining Urip). Pangeran iku ya “jumenenge urip kita pribadi sing sejati”. Roroning atunggal, sing sinebut ya sing anebut. Dene pangertene utusan iku cahya kita pribadi, karana cahya kita iku dadi panengeraning Pangeran. Dununge mangkene: “Sayekti temen kabeh tumeka marang sira utusaning Pangeran metu saka awakira, mungguh utusan iku nyembadani barang saciptanira, yen angandel yekti antuk sih pangapuraning Pangeran”. Menawa bisa nampa pituduh sing mangkene diarah awas ing panggalih, ya urip kita pribadi iki jumenenging nugraha lan kanugrahan. Nugraha iku gusti, kanugrahan iku kawula. Tunggal tanpa wangenan ana ing badan kita pribadi.
8. Wejangan paseksen :
Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi “warganing Pangeran Kang Sejati” kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang gumelar ing jagad.

TAHUKAH ANDA ???

GELOMBANG ELEKTROMAGTIKA

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia me...